Gaji dari Yang Maha Kaya
Sebagaimana umat Islam ketahui bahwa tujuan Allah menciptakan manusia adalah untuk beribadah.
Manusia bukan diciptakan dengan tujuan untuk menjadi kaya-raya, menjadi orang populer, menang suatu pertandingan tertentu, atau tujuan lainnya.
Manusia diciptakan semata-mata untuk ibadah karena Allah.
Ibadah Cermin Ketaqwaan
Manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Allah. Ada beberapa tingkatan orang yang beribadah kepada Allah.
Tingkatan Orang Yang Beribadah Kepada Allah
1. Muslim (orang yang beragama Islam)
Muslim adalah seorang yang sudah bersyahadat sehingga memeluk agama Islam.
Namun seorang muslim belum tentu mematuhi semua perintah Allah dan menjauhi semua larangannya.
Bisa jadi seorang muslim tidak mematuhi rukun Islam lainnya dengan baik seperti shalat masih bolong-bolong, zakat sesekali bayar tapi seringkali lupa, puasa belum baik, dan naik haji (bila mampu) padahal untuk beli rumah tiga, apartemen dua, dan mobil tujuh saja sudah mampu.
Diantara tingkatan orang yang beribadah kepada Allah, tingkatan muslim adalah peringkat terendah.
Seorang muslim juga bisa menjadi seorang yang fasiq jika banyak melakukan maksiat baik secara sembunyi-sembunyi (fasiq kecil) maupun secara terang-terangan (fasiq besar). Tentang fasiq bisa dibaca di artikel Tips Memilih Apapun dalam Islam (Bag. 1).
Seorang muslim yang belum masuk ke kategori mukmin dan muttaqiin memiliki tingkat keimanan yang terendah dibanding dua tingkatan berikutnya.
Dalam hal rejeki misalnya, memang dia mengimani bahwa sumber rejeki adalah Allah, tapi dia jarang meminta rejeki dan menggantungkan hidupnya langsung kepada Allah dengan ibadah, doa, upaya, dan kebaikan kepada sesama manusia yang baik.
Dia kurang dekat dengan Allah sehingga dalam hal mencari rejeki hanya dikaitkan dengan upaya dan usaha saja. Dan meminta rejeki atau pekerjaan kepada manusia, bukan langsung kepada Allah.
Bisa dibilang muslim yang belum masuk ke dalam kategori orang beriman atau bertaqwa ini adalah Islam KTP.
Jika seorang muslim ingin naik tingkat menjadi seorang mukmin, maka dia harus memperbaiki ibadahnya dan tindak-tanduknya.Yakni menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya dengan sebaik-baiknya, dan yakin bahwa meminta apapun hanyalah kepada Allah SWT.
2. Mukmin (orang beragama Islam yang beriman)
Seorang muslim tidaklah cukup hanya dengan pengakuan syahadat saja, namun harus konsisten melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagai umat Islam.
Seorang mukmin adalah seorang muslim yang memiliki keimanan/keyakinan yang teguh dan mengamalkan rukun Islam dan rukun iman dalam setiap sendi kehidupannya.
Mukmin berakar kata dari iman yang artinya percaya, dan diberi kepercayaan/amanah. Orang mukmin benar-benar beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, kepada rukun iman lainnya dengan keyakinan yang kuat di dalam hari, dikatakan dengan perkataan, dan dilaksanakan dengan perbuatan.
Indikator keimanan seorang muslim ada dalam hadits yang menyatakan bahwa iman itu memiliki 70 cabang lebih.
Jadi indikator keimanan itu ada 70 buah lebih.
Silahkan dilihat artikelnya di 79 Cabang Iman.
3. Muttaqqin (orang Islam yang bertaqwa)
Keimanan manusia kadang naik dan kadang turun. Jika lebih sering naik, maka seorang muslim akan naik tingkat menjadi mukmin. Manakala lebih sering turun, maka tingkat keimanan seseorang itu akan turun dan bisa jadi dia turun dari peringkat mukmin kembali menjadi muslim.
Namun jika seseorang telah menjiwai kebenaran, memahami ilmu agama yang diperlukannya untuk bisa menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya dengan istiqomah dan keyakinan yang teguh, maka dia naik ke tingkatan muttaqin.
Muttaqin adalah orang Islam yang menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi semua larangan-Nya dan ikhlas atas semua ketetapan Allah.
Muttaqin secara konsisten melaksanakan semua rukun Islam dengan sebaik-baiknya dan mengimani semua rukun iman dengan keyakinan yang mendalam.
Dia bisa mendapatkan peringkat muttaqin karena dia memahami ilmu agama sehingga bisa melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya dengan baik.
Muttaqin adalah peringkat tertinggi manusia di sisi Allah SWT.
Beda Digaji Allah dan Digaji Manusia
Jika orang yang masih dalam peringkat muslim, dia mencari kerja hanya berdasarkan upayanya dan meminta belas kasih dan harapan kepada manusia. Sehingga dengan upaya dan usahanya tersebut dia seringkali meninggalkan atau melalaikan kewajibannya yang utama seperti shalat, zakat, puasa, dan haji bila mampu.
Waktunya lebih banyak digunakan untuk mencari dunia dan bekerja untuk orang lain.
Sedangkan orang yang mukmin dan bertaqwa, karena tingkat keimanan dan ketaqwaan yang tinggi, akan meminta pekerjaan dan rejeki kepada Allah.
Setelah dia mendapatkan pekerjaan dari Allah, misalnya diterima menjadi karyawan di instansi Islami, diberikan usaha yang bernafaskan syariah, atau diberikan pekerjaan untuk dakwah, maka dia akan melakukan pekerjaan itu dengan sebaik-baiknya.
Jadi jika orang pada tingkatan muslim masih bekerja kepada manusia, maka orang mukmin dan muttaqin bekerja dan berniaga dengan/kepada Allah SWT.
Sehingga proses integral mencari pekerjaan atau usaha orang mukmin dan muttaqin adalah sebagai berikut:
Proses Integral Mencari Pekerjaan dan Berniaga Mencari Ridho Allah SWT
1. Niat bekerja dan berniaga hanya kepada dan untuk mencari keridhoan Allah SWT. 2. Berdoa dan beribadah dengan sebaik-baiknya.
3. Menimba ilmu agama agar bisa bekerja kepada Allah dalam konteks ibadah.
Juga agar sesuai spesifikasi pekerjaan dan deskripsi kerja di bidang apapun. Baik di bidang pendidikan, hukum, sosial, teknologi, dakwah, tarbiyah, dan lain-lain tetap bisa bekerja dengan baik berdasarkan ilmu agama yang didapat.
Supaya pekerjaan yang dikerjakan ikhlas lillahi ta’ala, mengerjakannya sesuai syariah (tahu hukum jual beli yang sah, menghindari riba dan MLM kecuali direct marketing maksimal 1 level, tahu adab-adab riset makanan dan obat-obatan, norma dan tatacara Islami pelayanan publik, memimpin sesuai tuntunan Rasulullah, dan sebagainya).
Karena jika manusia tidak tahu ilmu agama, maka dia tidak tahu apakah pekerjaan dan perniagaannya akan diterima Allah atau tidak.
Namu jika dia mengerti ilmu agama terkait pekerjaan dan perniagaan, maka pekerjaan tersebut baik proses dan hasilnya akan diterima oleh Allah sebagai amal ibadah yang baik dan sah.
4. Menimba ilmu dunia sesuai bidang pekerjaannya agar bisa bekerja secara profesional dan memberi manfaat secara optimal kepada sesama.
Karena didasari oleh ilmu agama yang baik dan konteks ibadah di poin 3, maka penimbaan ilmu dunia ini akan juga berada dalam konteks ibadah dan memberi perhatian pada ilmu-ilmu dunia yang halal dan baik saja, serta mengetahui dan menjauhi praktik-praktik disiplin ilmu atau pekerjaan/perniagaan yang dilarang Allah dan Rasul-Nya.
Sesungguhnya segala sesuatu pekerjaan itu dinilai dengan niatnya.
5. Meminta pekerjaan kepada Allah melalui doa, shalat hajat, shalat tahajjud, dengan tetap menjalankan ibadah, kebaikan kepada sesama manusia, dan menyuarakan kebenaran semata-mata karena Allah.
Dia yakin kalau ada yang memberi pekerjaan padanya, itu adalah pemberian Allah melalui manusia.
Jika dia digaji orang, dia yakin bahwa Allah–lah yang menggajinya karena dia sudah niat bekerja dan berniaga untuk mencari ridho Allah, menuntut ilmu agama dan ilmu dunia agar pekerjaan dan perniagaannya kepada Allah bisa dilakukan dengan sebaik-baiknya, dan dia bekerja di tempat yang halal dan baik dengan prosedur kerja yang halal dan baik.
Karena dia sudah mencapai tingkat tertinggi yakni muttaqin, dia mencari rejeki dengan bekerja dan berniaga kepada dan untuk mencari keridhoan Allah semata.
Sehingga rejekinya (‘gaji’-nya) langsung diatur oleh Allah. Rejeki di sini tidak terbatas pada harta, tapi juga ketenangan hidup, kebahagiaan, bisa menjadi manfaat untuk manusia, dan yang penting diridhoi semua pekerjaan dan perniagaannya ini oleh Allah karena sesuai dengan prosedur dan aturan agama.
"Walau tampaknya orang seorang fasiq memiliki kekayaan harta benda yang lebih banyak dari seorang muttaqin, namun belum tentu seorang fasiq itu memiliki kekayaan yang jauh lebih berharga daripada kekayaan yang bisa diindera oleh lapisan fisik melebihi seorang muttaqin.
Kekayaan itu adalah kekayaan intelektual, kekayaan perasaan, kekayaan rohani, dan yang lebih penting adalah kekayaan ruh. Dan kekayaan yang tidak nampak itulah kekayaan yang lebih kekal dan abadi."
6. Melaksanakan pekerjaan dan perniagaan yang telah diberikan Allah dengan sebaik-baiknya.
Pekerjaannya profesional, amanah, jujur, dan memberikan hasil dan manfaat yang baik baik bagi pemilik perusahaan maupun mitra usahanya.
Dia menjauhi kecurangan dalam jual-beli, korupsi di proyek-proyek, suap-menyuap, bekerja di tempat dan dengan cara kerja haram, dan memanfaatkan semua pekerjaan dan perniagaannya itu semata-mata dalam konteks ibadah kepada Allah SWT.
Sehingga hasil pekerjaan dan perniagaannya pun dia gunakan untuk menambah manfaat kepada sesama, bersedekah, zakat, membangun balai-balai pendidikan murah dan gratis, menjadi donatur tetap dan orang tua asuh, sponsor beasiswa dan kegiatan-kegiatan sosial dan keagamaan, dan lainnya.
Mungkin dia kaya raya dalam harta benda yang halal, tapi itu dia yakini adalah milik Allah sehingga setiap pengeluarannya harus di jalan Allah. Bukan untuk keperluan maksiat dan dosa.
Maka jelas sekali perbedaan orang yang digaji oleh Allah dan yang digaji oleh manusia.
Orang yang digaji oleh Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan kebaikan sehingga tetap bisa bekerja menjadi full time muttaqin.
Sedangkan orang yang digaji oleh manusia apalagi manusia yang fasiq, maka orang itu harus menuruti perintah kerja dari majikannya itu baik melakukan pekerjaan dan sistem kerja yang halal atau haram, rapat di saat waktu shalat tiba dan tidak boleh keluar ruangan hingga waktu shalat habis, tidak boleh berhijab atau berpakaian yang menutup aurat saat bekerja, melakukan cara apapun baik halal atau haram demi untuk mendapat keuntungan material.
Juga menggunakan cara-cara penipuan dan ancaman, melakukan praktik suap-menyuap baik dalam pengadaan proyek dan pemilihan umum legislatif dan pilpres (money politics), menjadikan wanita dan penampilan sensualnya sebagai bagian dari taktik marketing dan promosi produk, hingga ke sales entertainment dengan cara-cara maksiat seperti karaoke di diskotik, minum-minuman keras, dan sebagainya.
Sehingga uang gajinya pun belum tentu halal dan baik untuk dimakan olehnya dan keluarganya.
"Tidak akan masuk surga daging (manusia) yang tumbuh dari makanan yang dibeli dari harta haram."
"Kekayaan yang baik adalah kekayaan yang halal, baik, dan barokah. Bermanfaat untuk kebaikan di jalan ibadah. Banyak atau sedikit kekayaan jangan dihitung-hitung karena kekayaan tidak akan membuat hidup kekal, tapi yang dihitung adalah kemanfaatan kekayaan itu. Karena itulah kekayaan yang sesungguhnya."
Mau digaji oleh orang 'kaya' atau Yang Maha Kaya?
Komentar
Posting Komentar